Trump - Prabowo Sepakat Tarif Impor RI ke AS 19%, Siapa yang Rugi dan Untung?

(15/08/2025), Tarif Impor RI ke AS sebesar 19% pada dasarnya merugikan kedua negara, sebab konsumen di AS harus membayar harga lebih mahal, sedangkan daya tarik produk Indonesia turun yang pada akhirnya mengurangi volume ekspor.
  • Barang ekspor andalan RI seperti pakaian jadi, alas kaki, seafood, dan furnitur akan terdampak tarif impor 19%.
  • Tingkat tarif 19% ini menempatkan Indonesia setara dengan negara-negara ASEAN lainnya, dan lebih rendah ketimbang negara kompetitor utama.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa 15 Juli 2025 mengumumkan bahwa Washington telah mencapai kesepakatan dagang dengan Indonesia. Kesepakatan tersebut dikonfirmasi Presiden Prabowo Subianto sehari kemudian, yang menyebut proses perundingan dengan AS berlangsung sangat sulit dan dilakukan secara langsung lewat sambungan telepon antarkepala negara.

Dalam perjanjian dagang tersebut, AS akan memberlakukan tarif 19% atas impor Indonesia ke AS, turun dari tarif 32% yang sempat diberlakukan  April 2025. Sebagai imbalannya, Indonesia memastikan tidak akan mengenakan tarif Impor dari AS.

Trump mengatakan Indonesia berkomitmen membeli energi dari AS senilai USD 15 miliar, produk pertanian senilai USD 4,5 miliar, serta 50 pesawat Boeing, termasuk seri 777 untuk mendukung armada maskapai Garuda Indonesia.

Ekspor RI ke AS

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sepanjang Januari hingga Juni 2025 nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mencapai USD 14,78 miliar atau tumbuh 20,71% persen secara CoC (Cumulative on Cumulative). Ekspor RI ke AS menyumbang 11,52 persen dari total ekspor non migas Indonesia sepanjang semester I-2025.

Sedangkan pada 2024, berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai ekspor RI ke AS mencapai USD 26,53 miliar atau tumbuh 14,03% YoY. Tarif RI sebelum diberlakukan flat 19% menghadapi tarif yang beragam, salah satunya elektronik dan energi terbarukan yang menikmati tarif rendah sekitar 0-2,5% dan sangat kompetitif.

Siapa Untung dan Rugi dari Tarif 19%?

Kepala Ekonomi BCA, David Sumual mengungkapkan kebijakan tarif impor yang diberlakukan AS di era pemerintahan Trump memberikan tekanan signifikan bagi eksportir Indonesia. Meskipun secara teknis importir AS yang membayar tarif, dampaknya tetap dirasakan langsung oleh produsen di Indonesia.

Menurut dia, para importir di AS cenderung mencari alternatif dengan beralih ke pemasok (supplier) dari negara lain yang terkena tarif lebih rendah, atau menekan harga beli kepada eksportir Indonesia untuk mengimbangi biaya tambahan.

Penerapan tarif sebesar 19% terhadap produk Indonesia dinilai masih merugikan. Kendati demikian, berbagai perjanjian dagang yang diupayakan pemerintah disebut telah membantu mengurangi dampak negatifnya.

“Ekspor ke AS menyumbang 9,9% dari total ekspor Indonesia pada 2024. Walaupun angka ini tidak dominan, sektor-sektor yang menjadi andalan ekspor ke AS—seperti pakaian jadi, alas kaki, seafood, dan furnitur—merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja. Gangguan pada sektor ini berisiko langsung terhadap ketersediaan lapangan kerja,” jelas David.

Posisi Kompetitif dan Upaya Negosiasi

Di sisi lain, tingkat tarif 19% ini menempatkan Indonesia setara dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Filipina, Malaysia, Kamboja, dan Thailand. Bahkan, tarif ini lebih rendah dibandingkan kompetitor utama seperti Bangladesh, Sri Lanka, Vietnam, dan India. Semakin rendah tarif, semakin menarik produk suatu negara bagi pasar AS.

Pemerintah dilaporkan berencana melanjutkan negosiasi untuk mengurangi tarif, terutama pada produk ekspor Indonesia yang tidak diproduksi di dalam negeri AS.

Kerugian di Kedua Pihak

David menilai implementasi tarif ini pada akhirnya merugikan kedua belah pihak. Konsumen di AS harus membayar harga lebih mahal untuk produk dari Indonesia. Hal ini menurunkan daya tarik dan permintaan, yang pada gilirannya memukul volume ekspor Indonesia.

Bagi Indonesia, penurunan ekspor dapat menggerus surplus neraca dagang, yang berpotensi mempercepat pelemahan nilai tukar Rupiah dan mengurangi lowongan pekerjaan. Sementara itu, produsen AS dinilai tidak banyak diuntungkan karena kapasitas produksi domestik yang rendah untuk menggantikan produk yang selama ini diimpor dari Indonesia.

Peluang di Tengah Dinamika Perdagangan Global

David menjelaskan dampak tidak langsung dari dinamika perdagangan AS-Tiongkok juga membuka sejumlah peluang strategis bagi Indonesia:

  • Akselerasi Hilirisasi: Perlambatan permintaan komoditas mentah dari Tiongkok (seperti batu bara, nikel, dan minyak sawit) dapat menjadi katalis untuk mempercepat program hilirisasi. Dengan mengolah komoditas dalam negeri, Indonesia dapat menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi, mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan membangun rantai pasok yang lebih kuat.
  • Posisi sebagai Basis Produksi Alternatif: Ketegangan dagang mendorong banyak perusahaan global untuk merelokasi atau mendiversifikasi basis produksi mereka dari Tiongkok. Indonesia memiliki peluang emas untuk menarik investasi dan memposisikan diri sebagai hub manufaktur alternatif yang andal di Asia Tenggara.

Nasabah BCA Solitaire dan Prioritas, bagaimana menurut Anda? Apa saja dampak tarif impor RI ke AS sebesar 19% terhadap bisnis?

Update informasi ekonomi bisnis, finansial, dan gaya hidup di laman news, website BCA Prioritas. Cek lengkapnya di sini

Rekomendasi Berita